Dalam bentang alam sosiopolitik global kontemporer, Indonesia berdiri sebagai salah satu laboratorium terbesar bagi koeksistensi peradaban. Namun, di tengah klaim kemajemukan yang diinstitusionalisasi, kita menyaksikan gelombang paradoks yang kian menguat: dorongan untuk merayakan keragaman seringkali dibayangi oleh tendensi eksklusif untuk mengelompokkan diri berdasarkan batas-batas identitas yang sempit. Warna kulit, garis keturunan (nasab), status ekonomi, dan bahkan simbol-simbol keagamaan tertentu, seringkali diangkat sebagai penanda superioritas atau, sebaliknya, sebagai justifikasi untuk segregasi. Fenomena yang diistilahkan sebagai kebangkitan politik identitas ini bukan hanya mengancam kohesi nasional, tetapi secara fundamental menantang prinsip-prinsip etika sosial yang telah ditawarkan oleh Islam sejak masa awal pewahyuannya.

Jauh sebelum diskursus mengenai multikulturalisme atau keadilan sosial menemukan terminologinya di dunia modern, Al-Qur’an telah menawarkan solusi teologis dan sosiologis yang radikal untuk meruntuhkan tembok-tembok arogansi berbasis identitas. Solusi abadi ini terangkum dalam konsep universal lita’arafu—perintah untuk saling mengenal—yang termaktub secara eksplisit dalam Surah Al-Hujurat ayat 13. Ayat ini melampaui sekadar pengakuan pasif terhadap keragaman; ia memposisikannya sebagai mandat ilahi, sebuah prasyarat aktif bagi pembangunan peradaban yang berkeadilan, di mana kemuliaan manusia tidak pernah diukur oleh atribut lahiriah, melainkan oleh kualitas spiritual internalnya: taqwa.

Fondasi Ilahi dan Deklarasi Kemanusiaan yang Egaliter

Surah Al-Hujurat ayat 13, yang sering disebut sebagai piagam kemanusiaan dalam Islam, secara eksplisit menegaskan tujuan penciptaan manusia dalam keragaman. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS Al-Hujurat [49]: 13)

Ayat ini memulai pernyataannya dengan seruan universal, Yā ayyuhan nās (Wahai manusia!), yang mengindikasikan bahwa pesan ini ditujukan kepada seluruh umat manusia tanpa memandang afiliasi agama, ras, atau geografis. Poin pertama yang ditekankan adalah kesatuan asal-usul biologis: semua manusia berasal dari dzakar (laki-laki) dan untsā (perempuan) – Adam dan Hawa. Penegasan ini berfungsi sebagai landasan teologis untuk meruntuhkan klaim superioritas berbasis keturunan yang sering digunakan untuk membenarkan sistem kasta atau aristokrasi.

Selanjutnya, ayat tersebut mengakui pembagian manusia menjadi syu’ūban (bangsa-bangsa/kelompok besar) dan qabā’il (suku-suku/kelompok kecil). Pembagian ini bukanlah hasil dari kebetulan sejarah, melainkan sebuah desain ilahi (wa ja‘alnākum). Namun, tujuan dari desain ini sangat jelas dan fungsional: lita’arafu. Kata kerja dalam bentuk tafā‘ala ini, yang menekankan interaksi timbal balik, menggarisbawahi bahwa keragaman adalah sarana, bukan hambatan. Ia adalah prasyarat bagi interaksi, dialog, dan pertukaran pengetahuan yang esensial bagi kemajuan peradaban manusia.

Dinamika Historis dan Penghapusan Kasta Rasial

Untuk memahami betapa radikalnya pesan Al-Hujurat 13, kita harus menempatkannya dalam konteks sosial masyarakat Arab abad ke-7. Masyarakat pra-Islam (Jahiliyyah) sangat terstruktur oleh hierarki yang kaku, di mana nilai individu sepenuhnya ditentukan oleh nasab (garis keturunan), kekayaan, dan status kesukuan. Kebanggaan yang berlebihan terhadap suku (asabiyah) adalah pilar utama dalam sistem sosial tersebut, yang seringkali memicu konflik dan diskriminasi.

Asbabun Nuzul: Koreksi Langsung terhadap Arogansi Nasab

Para mufasir, seperti Imam Ibnu Katsir dan Imam As-Suyuthi, mencatat bahwa ayat ini turun sebagai respons langsung terhadap insiden-insiden yang menunjukkan sisa-sisa arogansi rasial di kalangan Muslim awal, yang baru saja meninggalkan tradisi Jahiliyyah. Dua kisah sering dikutip untuk mengilustrasikan konteks ini:

1. Bilal bin Rabah dan Adzan di Ka’bah: Puncak dari revolusi sosial Islam terjadi saat Fathu Makkah (Penaklukan Mekkah). Rasulullah SAW secara simbolis memerintahkan Bilal bin Rabah, seorang mantan budak berkulit hitam dari Habasyah (Ethiopia), untuk mengumandangkan adzan dari atas Ka’bah. Pemandangan ini, yang menempatkan seorang bekas budak pada posisi ritual paling suci dan otoritatif, memicu bisikan dan cibiran dari beberapa tokoh Quraisy yang baru memeluk Islam. Mereka meremehkan Bilal karena statusnya yang rendah dan warna kulitnya. Dalam riwayat tafsir, seperti yang dijelaskan dalam Tafsir Ath-Thabari, turunnya ayat 13 dari Al-Hujurat berfungsi sebagai teguran ilahi yang tegas, menyatakan bahwa penilaian manusia berdasarkan faktor-faktor lahiriah adalah cacat secara teologis.

2. Penolakan Pernikahan Abu Hind: Riwayat lain menyebutkan bahwa ayat ini turun setelah Nabi Muhammad SAW berusaha menjodohkan Abu Hind, seorang tukang bekam yang dulunya budak, dengan seorang wanita dari Bani Bayadhah. Kaum Bani Bayadhah menolak, beralasan bahwa status sosial dan profesi Abu Hind tidak sepadan dengan martabat keluarga mereka. Penolakan ini menunjukkan bahwa bahkan dalam urusan pribadi yang sakral seperti pernikahan, kasta dan status masih menjadi penghalang yang kuat. Ayat Al-Hujurat 13 secara definitif menghancurkan legitimasi hambatan-hambatan sosial ini.

Taqwa sebagai Tolok Ukur Meritokrasi Islam

Inti dari ayat ini terletak pada klausa terakhirnya: Inna akramakum ‘indallāhi atqākum (Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa). Ini adalah deklarasi meritokrasi yang paling murni. Kemuliaan (karāmah) bukanlah warisan yang dapat diturunkan melalui darah atau kekayaan, melainkan sebuah pencapaian spiritual yang harus diusahakan melalui kesadaran mendalam akan kehadiran Allah (taqwa) dan manifestasinya dalam amal saleh (amal ṣāliḥ) serta akhlak mulia (akhlāq karīmah).

Prinsip ini diperkuat oleh Khutbah Wada’ (Pidato Perpisahan) Nabi Muhammad SAW, di mana beliau secara eksplisit menyatakan: “Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian satu, dan bapak kalian satu. Tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas non-Arab, tidak pula bagi orang non-Arab atas Arab, tidak pula orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, tidak pula orang berkulit hitam atas orang berkulit merah, kecuali dengan ketakwaan.” Pesan ini adalah penutup yang sempurna bagi era diskriminasi rasial dalam Islam.

Analisis Filologis: Makna Mendalam Lita’arafu

Memahami perintah lita’arafu memerlukan analisis yang lebih dalam terhadap morfologi bahasa Arab. Kata kerja ini berasal dari akar kata ‘arafa (mengetahui), dan ditempatkan dalam bentuk tafā‘ala. Dalam tata bahasa Arab (ilmu ṣarf), bentuk tafā‘ala (seperti tasyārakū – saling berserikat, atau tahāwarū – saling berdialog) secara inheren menyiratkan makna partisipasi timbal balik (lil musyārakati baina ithnaini fa aktsara).

Oleh karena itu, lita’arafu bukanlah sekadar mengetahui keberadaan orang lain, melainkan sebuah proses aktif yang menuntut usaha dari kedua belah pihak atau lebih. Ini mencakup:

1. Pengenalan Epistemologis: Mengenal tradisi, sejarah, pandangan dunia, dan pengalaman hidup kelompok lain. Ini menuntut kerendahan hati intelektual untuk mengakui bahwa kebenaran dan kearifan mungkin juga ada di luar batas-batas identitas kita.

2. Interaksi Sosiologis: Melibatkan diri dalam dialog dan kerja sama. Ta’aruf yang otentik harus melahirkan tindakan nyata, seperti kerja sama dalam urusan kemanusiaan, keadilan, dan pembangunan sosial.

3. Transformasi Etis: Pengenalan yang mendalam harus menghasilkan empati. Ketika kita mengenal penderitaan, harapan, dan martabat orang lain, prasangka (zann) dan stereotip akan terkikis, digantikan oleh simpati dan rasa hormat yang tulus (iḥtirām).

Dalam konteks modern, lita’arafu adalah antitesis terhadap fenomena ‘gelembung filter’ (filter bubble) dan kamar gema (echo chamber) di media sosial, di mana individu secara pasif mengkonsumsi informasi yang hanya mengafirmasi bias identitas mereka sendiri. Lita’arafu menuntut upaya sadar untuk keluar dari zona nyaman identitas dan menghadapi keragaman secara langsung dan konstruktif.

Refleksi Ulama Klasik: Peringatan terhadap Kesombongan

Para ulama klasik sangat menekankan bahaya kebanggaan palsu yang bertentangan dengan semangat Al-Hujurat 13. Mereka melihat arogansi berbasis nasab atau kekayaan sebagai salah satu penyakit hati (amrāḍ al-qulūb) yang paling merusak.

Imam Al-Ghazali, dalam mahakarya etika spiritualnya, Ihya’ Ulumiddin, mengupas tuntas mengenai kibr (kesombongan) dan ujb (kagum pada diri sendiri). Beliau menjelaskan bahwa menganggap diri lebih mulia karena memiliki garis keturunan yang baik, harta melimpah, atau bahkan ilmu yang tinggi, adalah tipu daya setan yang halus. Al-Ghazali menegaskan bahwa kemuliaan hakiki (karāmah) hanya dapat dicapai melalui perjuangan spiritual yang konsisten melawan hawa nafsu, yang bermuara pada taqwa.

Menurut pandangan klasik, jika seseorang bangga dengan nasabnya, ia sebenarnya bangga dengan amal orang lain (leluhurnya), bukan amalnya sendiri. Islam mengajarkan bahwa setiap individu bertanggung jawab penuh atas tindakannya sendiri (QS Al-An’am [6]: 164), sehingga keutamaan harus bersifat personal dan diperoleh melalui usaha, bukan warisan.

“Kemuliaan di sisi Allah tidak ditentukan oleh warna, suku, atau nasab. Sesungguhnya, Allah tidak melihat kepada bentuk rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal perbuatan kalian.”

— Hadits Riwayat Muslim (dari Abu Hurairah)

Penegasan ini memposisikan Islam sebagai agama yang secara fundamental anti-diskriminasi dan pro-meritokrasi spiritual. Ia menuntut sebuah revolusi internal di mana manusia melepaskan standar penilaian duniawi yang fana dan berpegang teguh pada standar ilahi yang abadi.

Implikasi Modern: Lita’arafu dan Kontinuitas Indonesia

Perintah lita’arafu memiliki resonansi teologis dan sosiologis yang mendalam dalam konteks keindonesiaan, sebuah negara yang secara resmi mengakui keberagaman melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Indonesia, dengan lebih dari 1.300 suku bangsa dan ratusan bahasa daerah, adalah perwujudan nyata dari konsep syu’ūban wa qabā’il yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Dalam pandangan Islam, keragaman ini adalah modal spiritual dan sosiologis yang harus diolah, bukan masalah yang harus diselesaikan. Para pendiri bangsa kita, yang berasal dari latar belakang etnis dan agama yang sangat beragam, mampu mencapai konsensus fundamental mengenai persatuan karena mereka telah mempraktikkan ta’aruf yang mendalam.

Sayangnya, di era kontestasi identitas yang semakin tajam, ta’aruf seringkali digantikan oleh tahazzub (pengelompokan eksklusif) dan tashāwum (saling menyalahkan atau bermusuhan). Politik identitas modern seringkali menggunakan keragaman sebagai alat untuk mobilisasi massa yang bersifat eksklusif, bukan sebagai landasan untuk dialog inklusif. Ketika identitas—baik itu ras, suku, atau mazhab—dijadikan modal politik utama, ia cenderung memproduksi faksi dan mengikis empati sosial.

Masyarakat Nahdlatul Ulama (NU), sebagai entitas keagamaan dan sosial terbesar di Indonesia, secara historis telah mengamalkan prinsip lita’arafu melalui konsep ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan sebangsa) dan ukhuwwah insaniyyah (persaudaraan sesama manusia). NU memahami bahwa mandat ta’aruf tidak hanya berlaku di antara sesama Muslim, tetapi juga meluas kepada seluruh warga negara (terlepas dari agama) dan seluruh umat manusia. Ini adalah interpretasi yang progresif dan kontekstual terhadap etika sosial Qur’ani.

Praktek lita’arafu menuntut masyarakat untuk tidak hanya mentoleransi perbedaan, tetapi secara aktif mencari titik temu dan belajar dari yang berbeda. Studi sosiologi tentang kontak antarkelompok menunjukkan bahwa interaksi personal yang tulus dan berkelanjutan adalah cara paling efektif untuk mengurangi prasangka dan membangun kepercayaan. Tanpa ta’aruf yang aktif, keragaman hanya akan menjadi potensi konflik yang laten, bukan sumber kekuatan peradaban.

Kesimpulan: Kemuliaan diukur oleh Hati, Bukan Label

Surah Al-Hujurat 13 adalah pengingat abadi bahwa standar penilaian manusia yang paling otentik adalah standar ilahi: taqwa. Ayat ini adalah fondasi teologis yang menghancurkan semua bentuk diskriminasi, baik yang berbasis ras, keturunan, maupun status sosial. Perintah lita’arafu adalah metode yang diberikan Allah untuk mengelola keragaman agar menjadi sumber kekuatan, bukan perpecahan.

Dalam menghadapi tantangan politik identitas kontemporer, umat Islam, khususnya di Indonesia, memiliki kewajiban moral dan teologis untuk kembali merenungkan kedalaman pesan ini. Apakah kita masih terjebak dalam jebakan Jahiliyyah modern, menilai orang lain dari penampilan, kekayaan, atau label identitas yang fana? Atau, apakah kita sungguh-sungguh berpegang pada standar Nabi Muhammad SAW dan Al-Qur’an, bahwa kemuliaan sejati terletak pada kualitas hati dan kesungguhan amal?

Tugas kita hari ini adalah menjadikan keragaman Indonesia sebagai laboratorium nyata untuk mempraktikkan ta’aruf yang sesungguhnya. Ini menuntut kerendahan hati untuk keluar dari eksklusivitas, keberanian untuk mendengar narasi yang berbeda, dan komitmen untuk melihat martabat kemanusiaan dalam setiap wajah, terlepas dari label yang melekat. Sebab, pada akhirnya, pertimbangan kemuliaan adalah urusan antara hamba dan Penciptanya, yang hanya dapat diukur oleh ketulusan hati yang bertakwa, bukan oleh sertifikat keturunan atau warna pakaian yang kita kenakan.

Penulis: Ahmad Taftazani, M.Pd (Wakil Ketua PW Jama’ah Al Khidmah Jawa Timur)