Dalam pusaran kehidupan modern yang ditandai oleh akselerasi informasi dan tekanan eksistensial, krisis kesehatan mental telah menempati posisi sentral dalam diskursus global. Di Indonesia, meskipun kesadaran publik terhadap pentingnya merawat an-nafs (jiwa atau diri) mengalami peningkatan signifikan, stigma sosial yang melekat seringkali menjadi penghalang utama bagi individu untuk mencari pertolongan profesional. Kecemasan, depresi, dan berbagai bentuk kegelisahan psikologis seolah menjadi bayang-bayang yang tak terhindarkan dari peradaban yang serba cepat.

Namun, jauh sebelum disiplin ilmu psikologi modern merumuskan kerangka klinisnya, peradaban Islam pada masa keemasan (sekitar abad ke-9 hingga ke-13 Masehi) telah mengembangkan fondasi intelektual yang kokoh mengenai pemahaman holistik atas jiwa dan raga. Para ulama, filosof, dan ilmuwan Muslim pada era tersebut tidak hanya unggul dalam bidang matematika, astronomi, atau kedokteran fisik, tetapi juga dalam ilmu yang mereka sebut sebagai thibbur ruhani—pengobatan spiritual atau mental. Warisan ini menawarkan perspektif yang mendalam, melihat manusia sebagai kesatuan utuh (al-insan al-kamil) di mana penyakit fisik seringkali terjalin erat dengan kekacauan spiritual, dan sebaliknya, kegelisahan batin dapat bermanifestasi sebagai keluhan jasmani.

Menggali kembali khazanah intelektual ini bukan sekadar upaya menoleh ke masa lalu, melainkan sebuah ikhtiar kontekstualisasi untuk menemukan kembali kerangka etika dan spiritual Islam yang relevan secara fundamental dalam menjawab tantangan mentalitas kontemporer. Perspektif ini menegaskan bahwa kesehatan sejati adalah integrasi sempurna antara kesehatan jasmani (al-abdan) dan kesehatan rohani (al-anfus).

Fondasi Holistik dalam Kosmologi Islam

Islam menempatkan al-qalb (hati) dan an-nafs (jiwa/diri) sebagai poros sentral dari kesehatan dan penyakit. Dalam pandangan Islam, hati bukanlah sekadar organ fisik, melainkan pusat kesadaran, intuisi, dan sumber keimanan. Keseimbangan batin, yang diistilahkan sebagai thuma’ninah (ketenangan abadi), merupakan tujuan spiritual tertinggi yang dicari oleh setiap Muslim. Ketidakseimbangan atau ketiadaan thuma’ninah inilah yang memicu berbagai bentuk gangguan psikologis.

Landasan teologis untuk pemahaman ini tertuang jelas dalam Al-Qur’an, yang secara konsisten menekankan hubungan kausal antara kondisi spiritual dan kondisi psikologis. Allah SWT berfirman dalam Surah Ar-Ra’d ayat 28, yang seringkali menjadi penyejuk bagi jiwa yang gundah dan cemas:

“Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”

— QS. Ar-Ra’d: 28

Ayat ini menyediakan petunjuk fundamental bahwa ketenangan sejati bukanlah derivasi dari kondisi eksternal yang serba sempurna, melainkan hasil dari koneksi internal yang kuat dan tak terputus (dzikrullah) dengan Sang Pencipta. Ketika koneksi primordial ini terputus atau terganggu oleh dominasi hawa nafsu yang tercela atau tekanan duniawi yang berlebihan, jiwa menjadi rentan terhadap kegelisahan akut (qalaq), kecemasan (hamm), dan kesedihan kronis (huzn).

Selain landasan Qur’ani, bimbingan praktis Nabi Muhammad SAW juga memberikan teladan konkret tentang bagaimana menghadapi penderitaan, baik yang bersifat fisik maupun mental. Dalam sebuah hadits masyhur yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, beliau bersabda:

“Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit melainkan Dia juga menurunkan penawarnya.”

Hadits ini tidak hanya berfungsi sebagai motivasi untuk pencarian pengobatan fisik, tetapi juga sebagai perintah tersirat bagi umat untuk secara aktif melakukan ikhtiar (usaha) dalam mencari solusi dan penyembuhan, termasuk untuk penyakit kejiwaan. Para ulama klasik, seperti yang dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, menegaskan bahwa prinsip tawakkal (berserah diri) wajib diiringi dengan usaha maksimal untuk mencari kesembuhan, baik melalui intervensi medis, terapi spiritual, maupun kombinasi keduanya.

Diferensiasi dan Klasifikasi Penyakit Jiwa

Sejarah thibbur ruhani menunjukkan adanya dua arus utama pemikiran yang saling melengkapi: dimensi klinis-diagnostik yang dipelopori oleh para dokter-filosof, dan dimensi etis-spiritual yang didalami oleh para ahli tasawuf.

Abu Zaid Al-Balkhi dan Pilar Diagnosis Klinis

Salah satu figur paling signifikan dalam sejarah psikologi Islam adalah Abu Zaid Ahmed bin Sahl Al-Balkhi (w. 934 M). Sebagai seorang dokter, geografer, dan polymath dari Persia, Al-Balkhi diakui secara luas sebagai salah satu pionir yang secara eksplisit memisahkan penyakit yang berhubungan dengan tubuh (thibbul abdan) dan penyakit yang berkaitan dengan jiwa (thibbur ruhani). Kontribusinya ini mendahului pemisahan serupa di dunia Barat selama berabad-abad.

Karya monumentalnya, Masalihul Abdan wal Anfus (Kesehatan untuk Tubuh dan Mental), menjadi cetak biru awal yang menghubungkan kedua ranah kesehatan tersebut. Al-Balkhi tidak hanya menciptakan istilah thibbur ruhani, tetapi juga menyusun klasifikasi gangguan mental yang sangat maju untuk masanya. Ia mengidentifikasi beberapa kategori utama yang hari ini kita kenali sebagai gangguan kecemasan dan depresi. Ia membahas secara rinci tentang: al-khawf (ketakutan atau fobia), al-ghadhab (kemarahan berlebihan), al-huzn (kesedihan kronis), dan al-waswas (gangguan obsesif-kompulsif atau pikiran mengganggu).

Menurut Al-Balkhi, tubuh dan jiwa tunduk pada hukum keseimbangan (tawazun) dan ketidakseimbangan (ikhtilal). Ketidakseimbangan fisik menghasilkan demam atau rasa sakit, sementara ketidakseimbangan jiwa, yang ia sebut sebagai “penyakit jiwa yang menyerang an-nafs,” memunculkan kegelisahan yang tidak proporsional dan kesedihan yang melumpuhkan. Al-Balkhi bahkan mengusulkan terapi kognitif-perilaku awal, menyarankan bahwa depresi yang disebabkan oleh pikiran negatif harus diobati dengan mengganti pikiran tersebut dengan pikiran yang positif dan realistis—sebuah konsep yang sangat menyerupai Terapi Kognitif (CBT) modern.

Al-Ghazali dan Dimensi Etika Pensucian Jiwa

Pemikiran diagnostik dan klinis Al-Balkhi kemudian diperkaya oleh ulama etika dan tasawuf yang mendalami penyakit hati, terutama oleh Hujjatul Islam Imam Abu Hamid Al-Ghazali (w. 1111 M). Dalam magnum opusnya, Ihya’ Ulumiddin, Al-Ghazali secara ekstensif membahas ‘penyakit-penyakit hati’ (amradh al-qalb), seperti riya’ (pamer), hasad (iri), ‘ujub (banga diri), dan ghadhab (kemarahan). Walaupun fokus utama Al-Ghazali adalah pada dimensi moral dan spiritual, gejala batin yang ia deskripsikan seringkali merupakan prekursor atau paralel dari gangguan mental yang diidentifikasi oleh Al-Balkhi.

Al-Ghazali mengajarkan bahwa ketika seseorang gagal mengelola hawa nafsunya dan membiarkan sifat-sifat tercela mendominasi hati, ia menciptakan ketidaknyamanan psikologis yang mendalam—sebuah bentuk ‘penyakit jiwa’ yang memerlukan mujahadah (perjuangan keras melawan nafsu) dan riyadhah (latihan spiritual) untuk disembuhkan. Proses ini, yang dikenal sebagai tazkiyatun nafs (pensucian jiwa), bertujuan membersihkan hati dari kotoran moral agar ia dapat mencapai thuma’ninah.

Dengan demikian, thibbur ruhani dalam perspektif ulama klasik mencakup dua dimensi yang terintegrasi: dimensi klinis (diagnosis dan terapi) yang dipelopori oleh para dokter seperti Al-Balkhi, dan dimensi etis-spiritual (pensucian jiwa dan moral) yang ditekankan oleh para ahli tasawuf seperti Al-Ghazali. Kedua dimensi ini menegaskan bahwa penyembuhan sejati harus menyentuh akar spiritual dan juga manifestasi kognitif-perilaku.

Psikoterapi Awal dan Konseling Bijak

Kontribusi terhadap kesehatan mental tidak berhenti pada dua tokoh sentral tersebut. Ali bin Sahal Rabban ath-Thabari (abad ke-9 M), melalui karyanya Firdausul Hikmah, telah menguraikan metode yang sangat menyerupai psikoterapi modern. Ath-Thabari secara khusus menyoroti peran imajinasi atau keyakinan yang keliru (al-wahm al-fasid) sebagai penyebab utama banyak penyakit, baik fisik maupun mental.

Ia mengusulkan pengobatan melalui apa yang disebutnya sebagai “konseling bijak” (al-nashihah al-hakimah). Ath-Thabari menekankan bahwa terapi ini harus dilakukan oleh seorang dokter yang tidak hanya cerdas dan berpengetahuan luas, tetapi juga memiliki empati dan selera humor tinggi, bertujuan untuk membangkitkan kembali kepercayaan diri dan mengoreksi distorsi kognitif pasien. Pengakuan dini ini menunjukkan bahwa interaksi verbal, empati, dan koreksi kognitif telah diakui sebagai alat penting dalam penyembuhan kejiwaan dalam tradisi Islam.

Selain itu, filsuf seperti Al-Farabi (w. 950 M) turut menyumbangkan pemikiran melalui risalah terkait psikologi sosial dan studi kesadaran, sementara Ibnu Sina (Avicenna, w. 1037 M) dalam Al-Qanun fi at-Thibb menyajikan deskripsi mendalam mengenai gangguan neurologis dan psikologis, termasuk cara membedakan antara penyakit fisik dan penyakit mental yang disebabkan oleh emosi (seperti cinta yang obsesif), serta menekankan penggunaan musik sebagai terapi. Kontribusi kolektif ini membuktikan bahwa perhatian terhadap dimensi psikologis adalah pilar integral dari keilmuan Islam klasik.

Relevansi Thibbur Ruhani di Indonesia Kontemporer

Di tengah masyarakat Indonesia yang mayoritas menganut tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah, warisan thibbur ruhani memiliki relevansi yang sangat kuat. Tradisi Nahdlatul Ulama (NU), dengan kuatnya penekanan pada tasawwuf, akhlaq, dan integrasi ilmu agama dengan kehidupan sosial, secara inheren telah menyediakan mekanisme dukungan mental dan spiritual yang bersifat komunal.

Tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana mengaplikasikan prinsip-prinsip klasik ini tanpa terjebak pada reduksi yang menyederhanakan gangguan mental klinis sebagai sekadar ‘kurang iman’ atau ‘ujian’ semata. Pandangan holistik yang diwariskan oleh ulama klasik mengajarkan bahwa penyakit mental adalah penyakit (maradh), sama seperti penyakit fisik, dan harus dicari pengobatannya yang komprehensif.

Dalam konteks sosial-keagamaan Indonesia, praktik-praktik seperti Majelis Taklim, pengajian kitab kuning, dan keberadaan kyai atau nyai di pesantren dapat berfungsi sebagai sistem dukungan sosial dan konseling awal yang efektif. Mereka berperan sebagai agen yang memberikan nashihah (nasihat) dan mengarahkan umat untuk mencapai keseimbangan batin. Namun, thibbur ruhani yang autentik juga menuntut pengakuan terhadap batas kemampuan spiritual, dan perlunya kolaborasi yang etis dan profesional dengan ilmu kesehatan mental modern (psikiater dan psikolog) ketika kondisi klinis membutuhkan intervensi medis, farmakologis, atau psikoterapi yang terstruktur.

Integrasi idealnya adalah model kolaboratif: ahli agama (kyai/ustadz) fokus pada penguatan spiritual, etika, dan pencarian makna (dzikrullah, mujahadah), sementara profesional kesehatan mental menangani aspek neurokimia, diagnosis klinis, dan strategi perilaku. Kolaborasi ini mewujudkan prinsip ikhtiar secara menyeluruh, mencakup dimensi langit dan bumi.

Penutup: Menjaga Jiwa sebagai Ibadah

Kesehatan mental dalam perspektif Islam adalah bagian integral dari maqashid syariah (tujuan syariat), khususnya hifzh al-nafs (menjaga jiwa). Menjaga kesehatan jiwa bukan hanya kewajiban pribadi, tetapi juga bentuk ibadah. Ketika jiwa stabil dan tenteram (mencapai thuma’ninah), seseorang menjadi lebih mampu melaksanakan kewajiban spiritual dan sosialnya, serta berkontribusi positif kepada masyarakat.

Apa yang diajarkan oleh Al-Balkhi, Ath-Thabari, dan Al-Ghazali mengingatkan kita bahwa obat terbaik seringkali adalah pencegahan, yang dicapai melalui pengelolaan emosi yang bijak, disiplin spiritual (riyadhah), dan kesadaran diri yang mendalam (muraqabah). Kegelisahan, kesedihan yang tak terkendali, atau kemarahan yang destruktif adalah sinyal bahwa keseimbangan spiritual kita terancam. Ini bukan tanda kelemahan iman, melainkan panggilan untuk kembali pada sumber ketenangan, yaitu dzikrullah, dan mencari pertolongan yang tepat—baik melalui nasihat ulama, komunitas yang suportif, maupun bantuan profesional klinis.

Warisan intelektual Islam telah membuktikan bahwa perhatian terhadap kesehatan mental bukanlah sebuah tren yang baru muncul, melainkan sebuah ajaran yang telah mengakar kuat dalam peradaban. Dengan meneladani semangat para ulama klasik dalam mengintegrasikan ilmu pengetahuan, etika, dan spiritualitas, umat Muslim kontemporer diharapkan dapat mencapai shifa’ (kesembuhan) yang menyeluruh, menjadikan setiap individu pribadi yang seimbang, sehat jiwa dan raga, serta berkontribusi positif bagi peradaban. Wallahu a’lam bish-shawab.

Penulis: Ahmad Taftazani, M.Pd (Wakil Ketua PW Jama’ah Al Khidmah Jawa Timur)