Kisah Khaulah binti Tsa’labah adalah salah satu narasi teologis dan yuridis paling fundamental dalam sejarah Islam awal. Peristiwa yang melatarbelakangi turunnya Surat Al-Mujadalah (Perempuan yang Menggugat) ini bukan sekadar anekdot personal mengenai konflik rumah tangga, melainkan sebuah titik balik krusial yang mereformasi tradisi hukum Jahiliyah yang menindas, khususnya terkait praktik zhihar. Analisis mendalam terhadap episode ini mengungkapkan bagaimana Islam, melalui wahyu ilahi yang responsif, menegakkan keadilan sosial dan memberikan martabat yang lebih tinggi bagi kaum perempuan, bahkan dalam situasi yang paling rentan.

Khaulah binti Tsa’labah, atau yang juga dikenal sebagai Khuwailah binti Malik bin Tsa’labah, tampil sebagai figur sentral yang keberaniannya dalam mengajukan gugatan (mujadalah) langsung kepada Nabi Muhammad SAW dan, pada hakikatnya, kepada Allah SWT, menjadi bukti nyata bahwa pintu keadilan ilahi terbuka lebar bagi siapa pun yang tertindas. Kisah ini mengajarkan bahwa dalam menghadapi kebuntuan hukum atau sosial, resolusi tertinggi selalu terletak pada tawakal dan pengaduan yang tulus kepada Zat Yang Maha Mendengar.

Konteks dan Latar Belakang

Untuk memahami signifikansi revolusioner dari kisah Khaulah, kita harus terlebih dahulu menempatkannya dalam konteks sosial dan hukum Arab pra-Islam. Praktik zhihar—sebuah bentuk sumpah di mana suami menyamakan istrinya dengan punggung ibunya—adalah mekanisme perceraian yang kejam dan tidak adil pada masa Jahiliyah. Secara harfiah, zhihar berasal dari kata zhahr (punggung). Dalam adat Jahiliyah, sumpah ini secara efektif memutuskan hubungan pernikahan, menjadikan istri haram bagi suami, tetapi tanpa memberikan status cerai resmi (talak) yang memungkinkan perempuan untuk menikah lagi atau menuntut hak-haknya. Perempuan yang dikenai zhihar berada dalam posisi menggantung (mu’allaqah), terperangkap dalam ikatan yang tidak bisa dilanjutkan namun juga tidak bisa diakhiri.

Khaulah adalah istri dari Aus bin Ash-Shamit, seorang sahabat Anshar yang termasuk dalam generasi awal Muslim. Konflik rumah tangga mereka meletus karena ketegangan emosional yang mendadak. Riwayat menyebutkan bahwa Aus, dalam keadaan emosi yang memuncak atau mungkin didorong oleh dorongan sesaat yang tidak terkontrol, mengucapkan sumpah zhihar kepada Khaulah. Tindakan ceroboh ini seketika menjerumuskan Khaulah dan anak-anaknya ke dalam krisis eksistensial. Sebagai seorang istri yang taat dan ibu yang bertanggung jawab, Khaulah menyadari dampak buruk dari sumpah ini: ia akan kehilangan statusnya, dan anak-anaknya akan kehilangan perlindungan dan nafkah, tanpa adanya solusi hukum yang jelas menurut tradisi yang berlaku saat itu.

Dinamika Historis Utama

Reaksi Khaulah terhadap bencana hukum ini adalah manifestasi keimanan yang luar biasa. Alih-alih meratapi nasib atau mencari penyelesaian melalui arbitrase suku yang mungkin bias, Khaulah memilih jalur spiritual dan profetik. Ia membawa kegelisahannya langsung kepada otoritas tertinggi: Rasulullah Muhammad SAW.

Pengaduan Khaulah dan Kebuntuan Hukum Profetik

Ketika Khaulah mendatangi Rasulullah SAW, ia tidak hanya menyampaikan keluh kesahnya, tetapi juga secara aktif mengajukan gugatan (mujadalah) terhadap ketidakadilan yang menimpanya. Ia merinci bagaimana Aus, suaminya, telah mengucapkan sumpah tersebut, dan bagaimana hal itu mengancam masa depan keluarga mereka, terutama anak-anak yang masih kecil. Ia menyatakan, jika ia meninggalkan suaminya, anak-anaknya akan terlantar, tetapi jika ia kembali, ia melanggar sumpah yang sudah diucapkan suaminya.

Pada awalnya, Rasulullah SAW memberikan respons berdasarkan pemahaman hukum yang berlaku saat itu, yang masih dipengaruhi oleh tradisi Jahiliyah. Dalam beberapa riwayat, beliau menyatakan, “Aku tidak melihat apa-apa kecuali engkau telah diharamkan baginya.” Jawaban ini, meskipun jujur berdasarkan interpretasi hukum yang ada, tidak memberikan solusi praktis atau belas kasihan. Namun, Khaulah tidak menyerah. Ia terus-menerus mengulang pengaduannya, merintih dan memohon kepada Allah SWT, bahkan sambil berbicara di hadapan Rasulullah. Peristiwa ini menunjukkan keteguhan iman dan kepercayaan absolut Khaulah bahwa ada keadilan yang lebih tinggi daripada hukum adat yang kaku.

Keadaan ini menciptakan ketegangan unik: Rasulullah, sebagai pembuat hukum dan hakim, merasa terikat oleh ketiadaan wahyu baru mengenai masalah ini, sementara Khaulah terus memohon intervensi ilahi. Ini adalah momen penting di mana hukum manusia mencapai batasnya, dan kebutuhan akan petunjuk langit menjadi mutlak.

Intervensi Ilahi: Turunnya Ayat Al-Mujadalah

Keberanian dan ketulusan doa Khaulah tidak luput dari perhatian Ilahi. Di tengah perdebatan dan pengaduan yang berlarut-larut tersebut, wahyu turun. Aisyah RA meriwayatkan bahwa ia berada di ruangan yang sama, namun ia tidak dapat mendengar semua yang diucapkan Khaulah kepada Nabi SAW. Namun, Allah SWT mendengar semuanya, bahkan bisikan hati Khaulah.

Surat Al-Mujadalah ayat 1 secara tegas menyatakan intervensi ini:

قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ

— Al-Qur’an, Surat Al-Mujadalah (58): 1

Terjemahan maknanya: “Sungguh, Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah, dan Allah mendengar percakapan antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.”

Ayat ini adalah deklarasi teologis yang mendalam. Ia mengukuhkan konsep bahwa Allah SWT tidak hanya mengetahui hal-hal besar, tetapi juga detail intim dan pengaduan pribadi dari hamba-Nya yang paling lemah. Khaulah binti Tsa’labah diabadikan dalam Al-Qur’an sebagai al-lati tujadiluka (perempuan yang menggugatmu/berdebat denganmu), sebuah gelar kehormatan yang menunjukkan keagenan spiritual dan keberaniannya.

Perspektif Keagamaan dan Kultural

Turunnya Al-Mujadalah ayat 1-4 menandai revolusi substansial dalam hukum keluarga Islam. Zhihar diubah dari mekanisme perceraian yang tidak adil menjadi sebuah pelanggaran serius yang memerlukan penebusan (kafarat), tetapi tidak secara otomatis memutuskan ikatan pernikahan.

Setelah wahyu turun, Rasulullah SAW memanggil Aus bin Ash-Shamit dan menjelaskan ketentuan baru tersebut. Aus tidak lagi terjebak dalam tradisi Jahiliyah yang mengharamkan istrinya selamanya. Sebaliknya, Islam menawarkan jalan kembali melalui kafarat zhihar, yang harus dilakukan sebelum suami boleh berhubungan kembali dengan istrinya. Pilihan kafarat tersebut disusun secara bertingkat, mencerminkan prioritas etika sosial dan kemampuan ekonomi:

  1. Memerdekakan seorang budak.
  2. Berpuasa dua bulan berturut-turut.
  3. Memberi makan enam puluh orang miskin.

Ketika Aus bin Ash-Shamit menyatakan ketidakmampuannya untuk memenuhi pilihan pertama dan kedua (karena usia tua dan kesulitan ekonomi), Rasulullah SAW menunjukkan fleksibilitas dan belas kasihan Islam. Dalam riwayat, Rasulullah SAW membantu Aus dengan memberikan sebagian makanan pokok, dan Aus menambahkan sisanya, sehingga mereka dapat memenuhi kewajiban memberi makan 60 orang miskin. Tindakan ini menegaskan bahwa tujuan hukum Islam bukan untuk menghukum dan menyulitkan, tetapi untuk memperbaiki, membersihkan dosa, dan menjaga keutuhan keluarga semampu mungkin.

Dari perspektif sosiologis, kisah ini memberikan pelajaran penting tentang peran perempuan dalam masyarakat Islam. Khaulah bukan sekadar korban pasif; ia adalah agen perubahan hukum. Keberaniannya untuk bersuara dan kegigihannya dalam mencari keadilan menunjukkan bahwa dalam Islam, suara perempuan memiliki bobot yang signifikan di hadapan otoritas, bahkan otoritas profetik. Ia adalah prototipe dari perempuan Muslim yang cerdas, beriman, dan berani membela hak-haknya dengan cara yang paling bermartabat—melalui doa dan pengaduan yang tulus kepada Allah SWT.

Implikasi Modern dan Refleksi Kontemporer

Relevansi kisah Khaulah binti Tsa’labah melampaui batas-batas sejarah. Dalam konteks kontemporer, di mana konflik rumah tangga seringkali diselesaikan melalui perceraian yang terburu-buru atau melalui publikasi masalah di media sosial, kisah ini menawarkan tiga pelajaran utama yang tak lekang oleh waktu.

1. Prioritas Pengaduan kepada Ilahi

Khaulah mengajarkan bahwa ketika dihadapkan pada masalah yang tampaknya tidak memiliki solusi manusiawi (insoluble problem), jalan pertama yang harus ditempuh adalah mencurahkan isi hati kepada Allah SWT. Tindakan Khaulah yang terus merintih dan berdoa, bahkan saat Nabi SAW belum dapat memberikan jawaban, adalah contoh sempurna dari konsep tawakal dan istighatsah (memohon pertolongan). Dalam era modern, di mana banyak orang mencari validasi atau nasihat dari pihak ketiga yang tidak kompeten, Khaulah mengingatkan umat Islam untuk menjaga privasi rumah tangga dan memprioritaskan komunikasi spiritual sebagai sarana utama mencari solusi yang bijaksana.

2. Pelajaran dalam Etika Berumah Tangga

Kisah Aus bin Ash-Shamit menjadi peringatan keras tentang bahaya ucapan ceroboh yang didorong oleh amarah. Zhihar adalah metafora untuk segala bentuk pelecehan verbal atau janji yang diucapkan tanpa pertimbangan, yang berpotensi menghancurkan ikatan suci pernikahan. Islam mendorong umatnya untuk menahan amarah (ghadab) dan menggunakan musyawarah (dialog) yang santun sebagai mekanisme penyelesaian konflik, bukan sumpah atau ancaman yang didasarkan pada tradisi kuno atau emosi sesaat. Hukum kafarat berfungsi sebagai mekanisme pertobatan dan penyesalan, memaksa suami untuk merenungkan kembali bobot kata-katanya dan menebus kesalahannya melalui tindakan sosial yang bermanfaat (memerdekakan budak, berpuasa, atau memberi makan orang miskin).

3. Fleksibilitas dan Keadilan Hukum Islam

Perubahan hukum zhihar menunjukkan salah satu karakteristik terpenting dari syariat Islam: keadilan yang disertai belas kasihan (rahmah) dan fleksibilitas (taysir). Islam tidak bermaksud mempersulit hidup pemeluknya. Ketika Aus tidak mampu memerdekakan budak atau berpuasa dua bulan, keringanan diberikan melalui opsi memberi makan 60 orang miskin, bahkan dengan bantuan finansial dari Rasulullah SAW. Hal ini menegaskan bahwa hukum dilaksanakan dengan mempertimbangkan kondisi riil subjek hukum, memastikan bahwa kewajiban agama dapat dipenuhi tanpa membebani di luar batas kemampuan.

Penutup

Kisah Khaulah binti Tsa’labah adalah babak monumental dalam sejarah hukum dan spiritualitas Islam. Ia mengubah sebuah praktik Jahiliyah yang menindas menjadi sebuah pelanggaran yang dapat ditebus, sekaligus memberikan pelajaran abadi mengenai keteguhan iman, keberanian seorang perempuan dalam mencari keadilan, dan sifat responsif Allah SWT terhadap pengaduan hamba-Nya. Khaulah adalah teladan bagi setiap Muslim, khususnya kaum muslimah, bahwa dalam konflik rumah tangga atau sosial, solusi terbaik selalu berakar pada kesabaran, dialog, dan yang terpenting, pengaduan yang tulus dan penuh harap kepada Sang Pencipta. Dengan meneladani sikap Khaulah, umat Islam didorong untuk selalu menjaga keharmonisan rumah tangga, menghindari kata-kata yang merusak, dan menjadikan doa serta tawakal sebagai kunci utama dalam menghadapi setiap ujian kehidupan.

Penulis: Ahmad Taftazani, M.Pd (Wakil Ketua PW Jama’ah Al Khidmah Jawa Timur)